Sedikit opini saya terkait
pembaharuan kurikulum 2013 menjadi kurikulum merdeka. Kita ketahui bahwa 9
tahun implementasi kurikulum 2013 dengan berbagai dinamika didalamnya. Implementasi
kurikulum 2013 didasari oleh permasalahan pendidikan yang dianggap kaku,
pembelajaran monoton yang didominasi oleh guru di kelas hingga output
pembelajaran yang identic dengan menghafal tanpa mempertimbangkan perkembangan peserta
didik secara holistik dan kemampuan berfikir tingkat tinggi yang menjadi
tuntutan generasi abad 21.
Namun masalah muncul ketika guru
yang terbiasa mengajar dengan target kompetensi dasar tiap semester didorong
untuk meramu strategi pembelajaran aktif yang cenderung memakan lebih banyak waktu.
Saya menyadari hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah ditambah guru harus
memenuhi tuntutan administrasi yang jumlahnya tidaklah sedikit. Akhirnya tujuan
dari implementasi kurikulum 2013 yang ditujukkan untuk menempa kemampuan siswa
secara holistic (afektif, kognitif, dan psikomotorik) tidak terealisasi secara efektif.
“Implementasi kurikulum merdeka
bukan untuk merubah kurikulum 2013. Kurikulum merdeka dikembangkan untuk
menegaskan penerapan kurikulum 2013”. “Kurikulum merdeka adalah upaya pemulihan
atas fenomena learning loss yang
terjadi akibat pandemic covid-19”. Jujur, awalnya saya sendiri tidak begitu
tertarik akan isu implementasi kurikulum baru, karena saking banyaknya versi kurikulum selama 3/4 tahun terakhir setelah
implementasi kurikulum 2013, mulai dari kurikulum 2013 revisi, kurikulum
darurat, kurikulum prototype, hingga kurikulum merdeka. Namun akhirnya setelah menelusuri
beberapa informasi saya “mungkin” termasuk yang sependapat dengan maksud dari
implementasi kurikulum merdeka ini.
Saya berfikir memang seperti ada
yang kurang dengan budaya belajar di sekolah saat ini. Belajar sejatinya adalah
proses yang dilakukan secara sadar dan
disengaja untuk mengembangkan diri serta mendapat ilmu pengetahuan yang
bermanfaat. Namun, seperti yang kita lihat saat ini, hampir sebagian besar
siswa pergi sekolah hanya untuk menggugurkan kewajiban, hanya sedikit siswa
yang termotivasi untuk bersungguh-sungguh dalam proses belajar. Ada apa
sebenarnya? Apa yang terjadi? Mengapa bisa? Bagaimana seharusnya? Adalah beberapa pertanyaan yang mungkin akan
kita lontarkan saat kita gemas dengan perilaku siswa yang uncontrollable.
Mari kita refleksi diri, jika
pertanyaan itu berbalik pada kita apa yang akan kita jawab? Okelah, kita
mengajar siswa karena latar belakang pekerjaan kita sebagai guru, jika kita
tidak melakukannya dengan baik tanpa motivasi profesionalisme dan integritas
kita patut dipertanyakan bukan? Jadi values-nya mungkin berbeda jika kita
tanyakan hal yang sama pada siswa. 1) perkara motivasi bisa berasal dari
keluarga. Lingkungan keluarga yang well
educated cenderung efektif membangun vibes
positif bagi siswa ini termasuk kondisi ekonomi dan hal lainnya, tapi bagaimana
jika sebaliknya? 2) lingkungan sekolah yang nyaman dan fasilitas pembelajaran
yang mendukung akan memberi dampak signifikan terhadap motivasi dan input
siswa. 3) kontekstualitas pembelajaran akan membentuk persepsi bahwa ilmu yang
didapat aplikatif dalam kehidupan, sehingga siswa merasa ilmu yang dipelajari
memberi dampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari. Misal : bahasa daerah jarang
digunakan di sekolah, maka siswa akan termotivasi untuk mempelajari bahasa
indonesia terutama saat mata pelajaran bahasa indonesia berlangsung, kita bisa
bayangkan apa yang terjadi apabila siswa belajar bahasa indonesia sementara
budaya sekolah terbiasa menggunakan bahasa daerah hampir disemua kegiatan.
Sebagai guru biasa kita tidak
bisa masuk terlalu jauh ke dalam domain keluarga begitu pula dengan hanya mengandalkan pengadaan fasilitas
sekolah. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menciptakn
kontekstualitas dalam pembelajaran, hal ini sejalan dengan prinsip pengembangan
kurikulum merdeka, saya sependapat jika dalam kurkulum merdeka guru bebas
menentukan materi esensial yang diajarkan di kelas, guru tidak lagi dituntut
untuk mengajar dengan capaian materi yang sudah ditentukan. Dengan ini guru
bisa focus untuk mendalami materi yang dipilih sekaligus mengembangkan karakter
serta softskill peserta didik yang diperlukan generasi abad 21 (4C). guru juga
dapat dengan leluasa meramu strategi pembelajaran aktif yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari sehingga siswa akan merasakan kebermanfaatan materi yang
dipelajari.
Lalu bagaimana dengan materi lain
yang tidak diajarkan di kelas? Pertanyaan ini mungkin menjadi kekhawatiran orang
tua dan guru di sekolah, kekhawatiran akan pengetahuan yang didapat siswa akan
jauh lebih sedikit. Mempelajari materi lebih banyak tidak menjamin input kepada
siswa menjadi lebih banyak, bahkan dalam sosialisasi IKM Mas Kemendikristek
menyampaikan hasil penelitian menunjukkan learning
loss justru lebih banyak dialami oleh sekolah pengguna kurikulum 2013
dibandingkan sekolah pengguna kurikulum darurat selama pandemic covid 19. Hal yang sama juga diperkuat dengan argument yang
disampaikan oleh seorang penulis dan tokoh pendidikan bapak Munif Chatib (Alm)
dalam bukunya Orang Tuanya Manusia bahwa banyaknya materi yang dipelajari dapat
menyebabkan kejenuhan dalam belajar (down
shifting).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa,
jelas pengembangan kurikulum merdeka bukanlah produk dadakan yang merubah
kurikulum 2013 dalam waktu singkat tanpa pertimbangan, namun sebagai penguat
konsep dan tujuan dari kurikulum 2013. Bongkar pasang kurikulum tidak akan ada artinya
jika tidak didukung semua pihak termasuk kita sebagai guru. Guru memiliki
tanggung jawab besar untuk mencetak generasi yang berkualitas di masa yang akan
datang.
Tulisan ini hanya pendapat
penulis, jika anda memiliki masukan dan perdapat yamg berbeda silahkan
tinggalkan pesan di kolom komentar atau hubungi kami pada kontak yang tersedia,
terimakasih J
Wallahu’alam
Sumber
https://kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id/
https://makassar.terkini.id/nadiem-makarim-resmi-luncurkan-kurikulum-merdeka-belajar-guna-memperbaiki-krisis-pembelajaran/
0 Komentar